Purwokerto [Part 1]

Oleh : Muhammad Badrushshalih

Awal-awal abad XX. Pada suatu kota. Saat itu, babak baru dalam tata ruang tengah memasuki kota tersebut. Setiap jalan terlihat lebar. Pepohonan hijau nan rindang meneduhi para pejalan kaki ketika melintas di area pedestrian. Jalan-jalan terlihat asri. Sulit untuk membedakan antara jalan utama dengan jalan penghubung. Di depan gedung karesidenan, terdapat sebuah taman kota. Taman Merdeka, nama taman itu. Sebuah taman untuk tempat warga kota melepas penat setelah kesibukan. Kota terasa nyaman bagi warganya. Inilah suasana Kota Purwokerto dengan perencanaan tata ruang yang baru. Suatu masa ketika Pulau Jawa mulai berkembang.
Saat itu, kota-kota di Pulau Jawa tengah mengalami lonjakan penduduk. Kota-kota meledak. Hampir di setiap kota, pertambahan penduduk sekitar 10 kali sampai 20 kali lipat. Kota-kota, mengalami masalah akut tentang tata ruang. Pemerintah kolonial Belanda kelimpungan menghadapi persoalan itu. Sibuk mencari model pembangunan bagi kota-kota di Jawa. 
Saat kesibukan meliputi Pemerintah Kolonial Belanda, Herman Thomas Kartsen menjejakkan kaki di Semarang pada 1914. Kota yang juga tengah mengalami persoalan pertambahan penduduk. Dalam catatan W.F. Wertheim melalui buku Masyarakat Indonesia dalam Transisi, pertambahan penduduk di kota itu hampir mencapai seratus persen. Di kota tersebut, Kartsen menemui Henri Maclaine Pont. Pont adalah teman Kartsen semasa kuliah di Insitut Teknologi Delf, Amsterdam, Belanda. Di Semarang, Pont mendirikan biro arsistek. Melalui Pont, Kartsen mendapat banyak informasi tentang keadaan Semarang dan kota lainnya. Kedatangan Kartsen di Semarang adalah guna merancang Kota Semarang dan kota-kota di Pulau Jawa. 

Konsep Kartsen tentang tata kota, diakui kehandalannya. Kartsen dikenal tidak pernah merubah kota lama dalam konsep perencanaan tata ruangnya. “Daerah kota lama harus dihidupkan kembali sebagai indentitas kota dan sejarah kotanya di masa lampau,” kata Kartsen. Dengan konsep itu, Kartsen berusaha menghubungkan kota lama dengan kota baru sebagai perkembangan sebuah kota. Lantas, mempertahankan skyline kota tidak lebih dari tiga lantai. Kartsen lebih mengutamakan pertambahan daerah hijau yang penuh pepohonan sebagai ciri suatu kota di daerah tropis. Konsep Kartsen saat itu dianggap melawan arus. 
Kartsen merubah tata lingkungan perumahan yang sudah ada. Penataan lingkungan perumahan yang membagi wilayah pemukiman berdasarkan etnis. Pembagian wilayah antara perumahan orang Eropa, perumahan orang Cina (pecinan), kampung Arab dan daerah hunian penduduk, dirubahnya. Kartsen memilih pembagian tata lingkungan perumahan berdasarkan ekonomi.

Kelas jalan boulevard, straat dan laan ditempatkan penghuni dari kelas ekonomi menengah ke atas. Kapling-kapling di kelas jalan tersebut terlihat lebih luas. Sementara penghuni dari kelas ekonomi menengah ke bawah mempunyai kapling yang lebih sempit. Mereka terletak di jalan-jalan sempit bahkan sampai ke gang-gang. Pembagian wilayah hunian perumahan berdasarkan kelas ekonomi oleh Kartsen adalah dalam rangka menjawab tantangan yang sedang dihadapi pemerintah kolonial Belanda, yakni ledakan penduduk. 

Memasuki tarikh XX, pemerintah kolonial Belanda yang terpusat di Batavia kepayahan mengontrol kota-kota di Pulau Jawa. Sistem pemerintahan yang sangat terpusat sudah tidak bisa diharap lagi untuk menanggulangi persoalan akibat ledakan penduduk. Pada 1905 dikeluarkan Undang-Undang(UU) Desentralisasi untuk menjawab masalah itu. Melalui UU Desentralisasi, Jawa dipecah menjadi beberapa Gemeente. Gemeente merupakan satuan wilayah administratif setingkat kotamadya. Gemeente inilah yang mengatur perkembangan sebuah kota secara administratif dan secara fisik, meski kontrol pemerintahan masih tetap di pusat, Batavia. Kebijakan itu diwujudkan dengan menyewa arsitek dan planolog untuk merancang kota-kota di Jawa. 

Kartsen adalah salah satu arsitek cum planolog yang ditugasi oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menata kota. Selain Semarang, Jakarta, Bogor dan masih banyak kota lagi, bahkan kota di luar Pulau Jawa, Kartsen juga ditugasi untuk menata Kota Purwokerto. Tak heran, tata ruang Kota Purwokerto saat itu, tak jauh beda dengan kota-kota yang digarap Kartsen. “Purwokerto punya hubungan ‘trah’ dengan Menteng,” kata Soegeng Wiyono, kolektor foto-foto lama Banyumas, dalam suatu kesempatan diskusi.


Sumber:  Arizal Mutahir & Luthfi Makhasin/ FISIP Unsoed 

Post a Comment

0 Comments