Purwokerto: Usaha Pembentukan Sebuah Kota

Oleh : Muhammad Badrushshalih

Kota Purwokerto saat itu masih tertatih dalam perkembangan. Kalah pesat dibandingkan dengan Sokaraja. Saat itu, Sokaraja telah menjadi kota dagang yang ramai. Sementara Purwokerto masih mencari bentuk sebagai kota. Secara geografis kota ini sempat terisolasi. Karenanya, dalam pencarian bentuk masih merambat. Pembentukan sebuah kota yang penuh dengan dinamika. 
Pembentukan Kota Purwokerto dapat dilihat jauh ke belakang, bahkan hingga ke pertengahan abad XIX. Masa-masa pembentukan Banyumas di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Pada 13 Desember 1830, Jenderal Van Den Bosch menetapkan Banyumas sebagai wilayah resmi kekuasaan Belanda. Banyumas ditetapkan sebagai karesidenan yang lepas dari kekuasaan Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta. “Itu tak bisa dilepaskan dari sejarah berakhirnya Java Oorlog,” tulis R.M.S. Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo, dalam karya tulis berjudul Inti Silsilah dan Sedjarah Banjumas
Java Oorlog merupakan istilah pemerintah kolonial Belanda terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda. Perang selama lima tahun(1825-1830) yang menewaskan 8000 serdadu Eropa dan 7000 pasukan Diponegoro itu, juga memakan korban sekitar 200.000 rakyat Jawa. Penduduk Jawa menyusut hampir setengahnya. Pihak Belanda mengalami kerugian hingga 30 juta gulden, belum ditambah biaya untuk keperluaan militer hingga 2 juta gulden. Atas kerugian tersebut, pemerintah kolonial Belanda meminta pihak Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta untuk menanggung beban biaya perang. Bagi pihak Belanda, perlawanan Diponegoro adalah pemberontakan rakyat Jawa terhadap dua kerajaan itu dan mereka telah membantu dalam memadamkan pemberontakan. Dua kerajaan besar di Jawa itu menolak dengan dalih tidak mempunyai uang begitu banyak untuk membiayai kerugian akibat perang. Sebagai ganti penolakan, pemerintahan kolonial Belanda meminta sebagian wilayah yang dikuasai kedua kerajaan itu, yakni mancanegara bagian barat, Banyumas dan Begelen, sebagai ganti kerugian Belanda akibat perang. 
Melalui Comisie ter Regeling der Zaken(Komisi Urusan Tanah-tanah Kerajaan), M.H. Hellewijn, Residen Pekalongan, diserahi tugas untuk mengambil alih tanah-tanah mancanegaraKasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta pasca Perang Diponegoro di bagian Banyumas. Dengan langkah gegas, dia meminta seluruh bupati di wilayah Banyumas untuk mengumpulkan piagam pengakatan bupati oleh Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dana kompensasi sebesar 90 ribu gulden, digelontorkan. Dana kompensasi itu oleh Belanda dibagi untuk dua kerajaan. Sebanyak 80 ribu diserahkan kepada Kasunanan Surakarta, sisanya diberikan kepada Kasultanan Yogyakarta. Dana kompensasi merupakan biaya gadai atas wilayah Banyumas. Sejak itu, Banyumas masuk dalam jajahan Belanda. 
Untuk menghargai tugas yang telah dilakukan, M.H. Hallewijn ditetapkan sebagai Residen Banyumas pertama. Diawal tugasnya, dia melakukan pendataan daerah-daerah sekitar Banyumas. Hasil kerjanya dilaporkan dan dijadikan acuan kebijakan Batavia untuk membagi wilayah Banyumas. 
Pada November 1831, berbekal laporan Hallewijn, Jenderal de Kock mengunjungi Banyumas untuk menetapkan Banyumas sebagai karesidenan. Melalui besluit, de Kock menetapkan Karesidenan Banyumas secara adminsitratif membawahi 5 kabupaten, yakni Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara dan Majenang. “Pembagian wilayah dalam lingkup yang lebih kecil merupakan strategi Belanda,” tulis Purnawan Basundoro dalam artikel Perubahan Pemerintahan di Wilayah Banyumas. Dengan wilayah yang semakin kecil, maka pemerintahan Kolonial Belanda lebih mudah melakukakan pengawasan penduduk. Dan terutama dari itu, pengumpulan pajak jadi lebih mudah. Inilah masa ketika Sistem Tanam Paksa diberlakukan di daerah Banyumas. Hal ini bisa dilihat dengan berdirinya Pabrik Gula Kalibagor pada 1839. 
Purwokerto hanyalah bagian dari Kabupaten Ajibarang. Setara dengan distrik Jatilawang dan Ajibarang. Dengan gaji F 900 perbulan, Martadiredja II/Bratadimedja (berkuasa 1830-1856) ditetapkan sebagai bupati pertama Kabupaten Ajibarang yang membawahi wilayah Purwokerto. 
Lantaran Ajibarang sering didera angin Grubugan(puting beliung) yang serangannya sampai 40 hari, ditambah Bupati Majenang terserang sakit dan diasingkan ke Padang, Martadiredja II mengajukan usul kepada asisten residen Banyumas agar pusat pemerintahan Kabupaten Ajibarang dipindah ke Purwokerto. Saat itu, Purwokerto masih dalam pemerintahan Adipati Pancurawis yang mulai meredup. Asisten Residen Verkevisser, yang menjabat residen Banyumas saat itu, menyetujui usulan dan menggabung Kabupaten Ajibarang dan Kabupaten Majenang dengan gubermen bertempat di Purwokerto. Secara resmi pada 1832, bupati berdiam di Peguwon dan asisten residen menempati loji di Dukuh Sawangan (sekarang Markas KODIM), Desa Kedungwuluh. 
Perpindahan pusat pemerintahan juga terjadi di Karesidenan Banyumas. Pada 1843, rumah karesidenan di Kampung Pesanggrahan dipindah ke Kajawar, Karanggandul. Bersamaan dengan itu, dibangun jalan Banyumas ke selatan hingga sampai Buntu. Lantas ditarik ke barat sampai Cilacap. Bencana, juga tak luput melanda Karesidenan Banyumas. Air Kali Serayu meluap. Banjir melanda Banyumas. Banyumas terendam air hingga setinggi pohon kelapa. Banjir itu berlangsung selama empat hari empat malam. Tepatnya 21-23 Februari 1861. “Itu sudah diramalkan oleh para sesepuh Banyumas,” tulis R.M.S Brotodiredjo dan R. Ngatidjo Darmosuwondo. Ramalan itu mengatakan, ”Besuk bakal hana betik mangan mangar.” Ditakhrifkan setelah terjadinya banjir Banyumas artinya, air bah melanda sampai setinggi pohon kelapa sehingga ikan (betik) dapat mencapai bunga pohon kelapa( mangar).

Sebelumnya : 
Selanjutnya :

Post a Comment

0 Comments