"Kini
tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh
Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan
Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di
Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada
Professor dipersilahkan..."
Suara pembawa acara walimatul
urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di
Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.
Seluruh
hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan
pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan
ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf
dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.
Sejurus
kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan
wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang
ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan
pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu
sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa,
ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...
Bismillah, alhamdulillah,
washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du. Sebelumnya saya mohon
ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para
mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan
saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan
fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup
yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad
dan jiwa saya. arapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang
dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya.
Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.
Saya berharap
kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan
nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada
segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya
adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari
keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom
jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati
kalangan elit politik di negeri ini.
Saya anak sulung,
adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat
dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur
dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya
mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class
yang sepadan!
Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara
hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata
sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup
yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan
teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh
rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya,
mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial
keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam
mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak
peduli.
Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar
dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka
kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa
berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia
lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka
pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di
Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Begitu
masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya
minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar
lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau
menolak mentah-mentah.
"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.
Terpaksa
saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan
pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir
mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.
Ketika itu saya
jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir
batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan
ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya
tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.
Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga
mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat.
Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang
diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus
dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan
impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh
bahagia di jalan yang lurus.
Saya buka keinginan saya
untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak
dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya
takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji
cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang
halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan
ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan
ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya. Bahkan beliau
mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!
Beliau
menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan
gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris
pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak
terkira.
Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa
ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri
saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur!
Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia
seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan
kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu
prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat
tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan,
meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.
Ibu,
saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri,
tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya
yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung
merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu
ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak
direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,
bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke
berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha
besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup
dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan
pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Ganzouri."
Hadirin semua, semakin perih luka
dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki
habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup
bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru
difasilitasi.
Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan
untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja,
bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak
ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan
suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.
Saya bawa
kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh
kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan
beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata
illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk
mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan
reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap
nekad menikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami
tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan
status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela
kehormatan.
Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah
berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan
ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun
syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami
berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad
nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika
Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima
nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang
kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."
Seketika
itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat
saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami
keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah
SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran
lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang
saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka
keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium
pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala
fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa.
Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4
pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos
akad nikah di kantor ma'dzun.
Begitu pula dengan istriku,
ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas
kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami
hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!
Ah, apa yang
bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan
layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak
musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca
bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang ,
rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak...
Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir
benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai
kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu
ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya
tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah,
insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap
setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada
mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu
ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita
berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air
mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita
saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.
Kata-katanya
memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme
untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat
bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai
lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan
uang sebanyak 40 pound.
Malam semakin melarut dan hawa
dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai
gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus
berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko
itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami
masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.
Saya
berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah.
Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera
kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang
susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong
kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta
rahmat Allah SWT.
Kami hidup dalam losmen itu beberapa
hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di
daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami
mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan
mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari
rumah kontrakan kami.
Namun bagi kami adalah hadiah dari
langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah
menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit.
Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia
menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya.
Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.
Betapa
bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi
membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah
kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan
satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu
saja... tak lebih.
Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak
itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di
dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya
cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah
orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah
menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim,
bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di
dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan
oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga
jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa
dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah
kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak
semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.
Untuk
nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan
Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.
Istri
saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus
shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang
larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua
tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang
pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa
setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama
sebulan.
Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat
mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan
melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah
dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira
para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat
sengsara seperti Mamduh dan isterinya."
Akrabnya pergaulan kami
dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali
tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri.
Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada
mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang
membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya
sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan mereka.
Kehangatan
tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima
dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama
sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka
tidak membiarkan kami hidup tenang.
Suatu malam, ketika kami
sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4
bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada.
Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi.
Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka
mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar
dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang
Tuan Pasha."
Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha"
adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat
bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi
nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang
hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan
lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan
itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak
itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan
erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan
kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.
Benar,
firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang.
Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal
itu.
Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak
mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku
berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya
agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.
Tugas
temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah
turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa
mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan
setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya
menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada
pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan
saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris
selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.
Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah
yang menjaga keselamatan hamba-hamba-Nya yang beriman. Isteri saya
hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik
kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup
berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.
Selesai wajib
militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih
hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam itu
saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum
manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair
Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &
lepas dari belenggu derita:
Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
Yah...
saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan
derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia
ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk
program Magister bersama!
"Gila... ide gila!!!" pikirku
saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi
meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk,
demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri
saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika
yang saya tolak:
"Kita berdua paling berprestasi dalam
angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan
mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita
untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang
basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan
ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi
indah kita."
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak
membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad
baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan
takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami
berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru
yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah
luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup
laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami
lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami
lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.
Masih
terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu
malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan
air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli
buku kami ambil untuk pengganjal perut.
Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski
demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal
atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia
menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih
kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya
terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya
gelandangan.
Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat
keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus
hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.
Timbal
balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa
kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang,
hormat, dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya
angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri
saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum
pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat
pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya
yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya
kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.
"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum.
Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.
Allah
Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami
belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih
hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak
dalam hidup kami.
Sampai akhirnya rahmat Allah datang
juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah
rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun
berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami
hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan
kembali mengenal masakan lezat.
Dua tahun setelah itu,
kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya,
saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak.
Tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu
ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan
logika yang sulit saya tolak:
"Kita dokter yang
berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini
memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London. Setelah
bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih
sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara
maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."
Kucium
kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya,
dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari
London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.
Setelah
memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di
Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai
direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga
mengajar di Universitas.
Kami pun dikaruniai seorang putri
yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih,
belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti
mengilhamkan kebajikan.
Lima tahun setelah itu, kami
pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di
Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang
dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan
kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan
sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.
Ini
kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin
sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan
cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai
saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru
yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis
berjilbab Huda Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan
bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti
Abdul Aziz..."
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak
kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun
dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya.
Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air
mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini
dengan seksama.
Ketika Derita Mengabadikan Cinta. Penulis : Habiburrahman El Shirazy
0 Comments
Terima kasih atas kunjungannya